Mau dipakai terus kok nyusahin diri AKA kurang praktis, "Hari gini masih demen ngulik ke laut aje" kata orang .... kekekek. Tetapi kalau tidak dipakai kok sayang, sayang karena ingat dulu belinya pake nabung2 dulu dan pada eranya prabotan itu sudah termasuk yang terbagus.
Kalau soal piringan hitam dan alat putarnya tidak terlalu masalah tau kemana sekarang rimbanya mungkin sudah berdebu digudang karena sudah lama tidak disentuh begitu era CD meraja lela, kalau soal mesin gambar (gambar2 teknik arsitektur) juga tidak masalah setelah dengan program autocad dan 3d semuanya jadi lebih praktis dan mudah, tapi kalo soal camera analog ini lain ceritanya.
Kegiatan jeprat-jepret ini pertama saya kenal ketika saya masih kelas 2 SD kira2 tahun 60 an, waktu itu saya dan kakak dibelikan camera foto tipe box camera oleh alm ayah saya, entah mereknya apa terbuat dari plastik dan bentuk sisi2 cameranya mem bulat, camera mainan ini dapat berfungsi betulan.
Cameranya sangat sederhana sekali tapi hasilnya lumayan bagus, untuk motret objeknya harus berjarak kira2 tiga langkah dari pemotretnya karena focusnya sudah fix, dan saratnya si objek harus menghadap sinar langsung, waktu itu kita menggunakan 120 Film B&W isi 12 bingkai.
Pada waktu itu alm ayah saya memang sudah hobby motret dan menggunakan Camera 35mm RF (Range Finder), Leica M1 atau M2 saya kurang tau pasti.
Namanya anak2 jadi Camera disamakan dengan barang mainan umumnya, pas baru2nya untuk motret saja pasti berebutan dengan kakak karena memang camera itu dibelikan untuk dipakai berdua, dan biasa setelah lama mulai bosen camera jarang dipakai malah sampai2 lupa di taruh dimana dan akhirnya hilang, singkat cerita saya mulai jeprat-jepret lagi pada saat saya sudah duduk di bangku SMP.
Lagi2 karena camera pemberian alm ayah saya dan lagi2 camera untuk dipakai berdua kakak saya, cameranya cukup canggih bentuknya compact dapat di masukan kesaku, camera 35mm jenis RF mereknya Rollei 35S. Camera ini 100% manual dan 100% mekanik, tapi sudah mempunyai built-in analog light meter sistim jarum dan batang geser yang cukup akurat dengan tenaga dari batrey kancing.
Nah pada saat ini lah saya mulai mengenal apa itu aparture, shuter speed, ASA, dll cara menggunakan camera, untuk mendapatkan foto yang gambarnya bagus selain focus yang teptat juga ke tiga kombinasi bagian2 tsb diatas harus tepat.
Tetapi untuk sistim focusnya camera ini masih menggunakan sistem kira2/skala jadi kita harus tau kira2 jarak objeknya lalu index focus pada lensa kita putar hingga sekalanya sama dengan jarak objek yang kita taksir tadi, dan karena mungkin menggunakan lensa tetap 40mm/2,8 maka umumnya gambar relatif akan tajam karena lensa 40mm mempunyai DOF (Depht of Field) relatif panjang. camera ini sekarang masih disimpan oleh kakak saya.
Suatu ketika pada saat lebaran saya sekeluarga bersilaturahmi ke rumah adik ayah, disana saya diberi tau ayah saya bahwa adiknya punya camera Leica tetapi jarang sekali dipakai dan kalau mau nyoba tanyakan apa boleh saya pinjam. Setelah saya tanyakan ternyata boleh dan akhirnya satu tas camera berisi 2 body camer Leica M4 dan beberapa lensanya saya bawa pulang untuk saya pinjam.
Pertama kali saya heran dengan jenis camera RF yang lensanya dapat di ganti2 karena dalam pikiran saya camera RF kan tidak bisa memfocus langsung melalui lensa, harus difocus melalui jendela intip yang terpisah dari lensa , bagaimana membedakan luas area bidangnya bila focal lenghtnya beda2, trnyata setelah coba dengan bebrapa lensa yang beda jendela intipnya mempunyai bingkai bayangan yang bisa berubah2 sesuai jenis lensa yang digunakan, selain itu focusnya juga bisa tepat karena dengan sistim menyatukan bayangan ganda.
Camera ini 100% manual, 100% mekanik dan tidak ada light meternya sama sekali jadi untuk mendapatkan pengukuran cahaya yang tepat harus menggunakan light meter genggam terpisah, walaupun sebenarnya saya sudah tebiasa memotret hanya dengan patokan rumus ASA (ASA rule of thumb formula), tetapi untuk hasil yang baik/maksimal maka terpaksalah bongkar tabungan beli light meter seken yang murah meriah.
Camera ini sangat ringkas dan ringan, karena ukuran lensa2nya relatif lebih kecil kira2 setengahnya dari ukuran lensa camera SLR, karena sifatnya yang ringkas ringan, lincah, dan sangat halus bunyi shuternya, hasil gambarnya juga lebih bagus lebih natural, untuk warna tidak bisa semarong (vivid) lensa jepang, tapi soal warna sebetulnya bukan masalah serius karena saya lebih suka gambar2 b&w, akhirnya camera ini lah yang jadi camera favorit saya seterusnya sampai sekarang.
Leica M4 black body
21mm/3,4 super-angulon
50mm/2,0 sumicron
90mm/2,8 elmarit 135mm/2,8 elmarit
400mm/5,0 telyt
Kembali kemasalah digital, istri saya akhirnya beli camera SLR digital Canon EOS 400D untuk motretin masakan2 nya kareana hobbynya masak dan resep2 serta foto2 masakannya akan di share untuk siapa saja melalui blog masaknya, sebelumnya dia pakai camera saku digital Canon Ixus 330 walaupun hasilnya cukup bagus tapi "DOF nya ga dapet" katanya (back grounnya ga bisa burem), EOS 400D ini bentuknya mungil dan ringan pas untuk ukuran tangan perempuan.
Akhirnya saya juga lebih sering menggunakan Camera ini untuk membuat foto2 Interior, Arsitektur yang saya butuhkan untuk meng update portfolio web profesi saya.
Memang camera sekarang sudah sangat canggih, kita tidak usah repot2 kalkulasi dan nebak2 setingan, semua sudah otomatis dikerjakan oleh prosesor di camera, bahkan focusnya juga sudah otomatis, lensanya dilengkapi mekanis anti goyangan supaya gambar tidak burem kalau motret pake speed rendah, banyak pilihan seting untuk macem2 suasana pemotretan, bahkan sambil merem motretnya pun pasti jadinya bagus, dan yang penting bisa langsung tau hasilnya sat itu dan bias langsung dicetak, pokonya tinggal kreatifitas kita aja, selain itu semua proses kamar gelap sudah dikerjakan camera itu sendiri dan sedikit bantuan computer,atau bisa di katakan fly by wire.
Jadi sekarang tinggal pilih masih mau ribet2 pake kamera analog manual, apa pake kamera digital super canggih yang sudah pasti jadinya bagus ... bingung kan ... apakah akhirnya semua Camera analog saya tinggal sejarah gitu saja ... sedih juga sih liatnya.
Kalau lensa analog SLR nya sih sudah pasti tidak bisa dipakai di camera SLR digital walaupun sama2 Canon, tetapi untuk lensa analog dari M4 kalau dipakai ke body Leica M8 masih bisa tapi harga cameranya itu yang ga tega dengernya kalo cuma dipakai buat hobby2 an saja, bisa punya Leica M4 ini saja boleh dapet dari lungsuran kok...
Untung masih ada satu prabotan hobby yang aman diera digital yaitu sepeda gunung saya, sebetulnya sudaha ada versi digitalnya tapi biasanya dipakai untuk latihan simulasi indor, untuk sepeda yang berubah dari tahun ke tahun cuma component2 nya aja yang makin canggih.
Namanya anak2 jadi Camera disamakan dengan barang mainan umumnya, pas baru2nya untuk motret saja pasti berebutan dengan kakak karena memang camera itu dibelikan untuk dipakai berdua, dan biasa setelah lama mulai bosen camera jarang dipakai malah sampai2 lupa di taruh dimana dan akhirnya hilang, singkat cerita saya mulai jeprat-jepret lagi pada saat saya sudah duduk di bangku SMP.
Lagi2 karena camera pemberian alm ayah saya dan lagi2 camera untuk dipakai berdua kakak saya, cameranya cukup canggih bentuknya compact dapat di masukan kesaku, camera 35mm jenis RF mereknya Rollei 35S. Camera ini 100% manual dan 100% mekanik, tapi sudah mempunyai built-in analog light meter sistim jarum dan batang geser yang cukup akurat dengan tenaga dari batrey kancing.
Nah pada saat ini lah saya mulai mengenal apa itu aparture, shuter speed, ASA, dll cara menggunakan camera, untuk mendapatkan foto yang gambarnya bagus selain focus yang teptat juga ke tiga kombinasi bagian2 tsb diatas harus tepat.
Tetapi untuk sistim focusnya camera ini masih menggunakan sistem kira2/skala jadi kita harus tau kira2 jarak objeknya lalu index focus pada lensa kita putar hingga sekalanya sama dengan jarak objek yang kita taksir tadi, dan karena mungkin menggunakan lensa tetap 40mm/2,8 maka umumnya gambar relatif akan tajam karena lensa 40mm mempunyai DOF (Depht of Field) relatif panjang. camera ini sekarang masih disimpan oleh kakak saya.
Benar2 mulai senang dengan fothography pada saya mulai duduk di bangku kuliah kira2 tahun 70 an, mula2nya karena pada waktu kuliah sering sekali bila ada kegiatan2 dicampus selalu diminta untuk memotret dan dsinilah saya mulai mengenal camera SLR, camera yang sering saya pakai adalah kamera pinjaman dari alm ayah saya yaitu camera Canon F-1, camera ini juga 100% manual dan 100% mekanik dan sistem pengukuran cahayanya sama dengan camera Rollei 35s (jarum dan batang geser) tetapi focusnya bisa lebih akurat karena kita melihat langsung objeknya melalui lensa dan akan focus bila gelang focus kita putar hingga object sudah benar2 jelas/tajam gambarnya.
Dengan camera jenis ini lah saya juga mengenal jenis2 lensa denga focal length yang beda2 (lensa lebar, lensa normal, dan lensa tele). cukup lama juga saya menggunakan camera SLR ini dan sempat harus menabung untuk mebeli 1 bh camera Canon New F-1 (Camera hybrid 100% mekanik + elektronik untuk shuter speed rendah dibawah 1/125, dan untuk menjalankan fasilitas Av&Tv nya) seperti gambar disebelah ini, dan bebrapa jenis lensanya, camera jenis ini memang asik untuk dipakai eksperimen, teapi relatif lebih besar dan berat dibanding camera range finder saya terdahulu, apalagi bila menggunakan lensa tele,rasanya berat dan kurang leluasa bergerak.
Dengan camera jenis ini lah saya juga mengenal jenis2 lensa denga focal length yang beda2 (lensa lebar, lensa normal, dan lensa tele). cukup lama juga saya menggunakan camera SLR ini dan sempat harus menabung untuk mebeli 1 bh camera Canon New F-1 (Camera hybrid 100% mekanik + elektronik untuk shuter speed rendah dibawah 1/125, dan untuk menjalankan fasilitas Av&Tv nya) seperti gambar disebelah ini, dan bebrapa jenis lensanya, camera jenis ini memang asik untuk dipakai eksperimen, teapi relatif lebih besar dan berat dibanding camera range finder saya terdahulu, apalagi bila menggunakan lensa tele,rasanya berat dan kurang leluasa bergerak.
Suatu ketika pada saat lebaran saya sekeluarga bersilaturahmi ke rumah adik ayah, disana saya diberi tau ayah saya bahwa adiknya punya camera Leica tetapi jarang sekali dipakai dan kalau mau nyoba tanyakan apa boleh saya pinjam. Setelah saya tanyakan ternyata boleh dan akhirnya satu tas camera berisi 2 body camer Leica M4 dan beberapa lensanya saya bawa pulang untuk saya pinjam.
Pertama kali saya heran dengan jenis camera RF yang lensanya dapat di ganti2 karena dalam pikiran saya camera RF kan tidak bisa memfocus langsung melalui lensa, harus difocus melalui jendela intip yang terpisah dari lensa , bagaimana membedakan luas area bidangnya bila focal lenghtnya beda2, trnyata setelah coba dengan bebrapa lensa yang beda jendela intipnya mempunyai bingkai bayangan yang bisa berubah2 sesuai jenis lensa yang digunakan, selain itu focusnya juga bisa tepat karena dengan sistim menyatukan bayangan ganda.
Camera ini 100% manual, 100% mekanik dan tidak ada light meternya sama sekali jadi untuk mendapatkan pengukuran cahaya yang tepat harus menggunakan light meter genggam terpisah, walaupun sebenarnya saya sudah tebiasa memotret hanya dengan patokan rumus ASA (ASA rule of thumb formula), tetapi untuk hasil yang baik/maksimal maka terpaksalah bongkar tabungan beli light meter seken yang murah meriah.
Camera ini sangat ringkas dan ringan, karena ukuran lensa2nya relatif lebih kecil kira2 setengahnya dari ukuran lensa camera SLR, karena sifatnya yang ringkas ringan, lincah, dan sangat halus bunyi shuternya, hasil gambarnya juga lebih bagus lebih natural, untuk warna tidak bisa semarong (vivid) lensa jepang, tapi soal warna sebetulnya bukan masalah serius karena saya lebih suka gambar2 b&w, akhirnya camera ini lah yang jadi camera favorit saya seterusnya sampai sekarang.
Leica M4 black body
21mm/3,4 super-angulon
50mm/2,0 sumicron
90mm/2,8 elmarit 135mm/2,8 elmarit
400mm/5,0 telyt
Kembali kemasalah digital, istri saya akhirnya beli camera SLR digital Canon EOS 400D untuk motretin masakan2 nya kareana hobbynya masak dan resep2 serta foto2 masakannya akan di share untuk siapa saja melalui blog masaknya, sebelumnya dia pakai camera saku digital Canon Ixus 330 walaupun hasilnya cukup bagus tapi "DOF nya ga dapet" katanya (back grounnya ga bisa burem), EOS 400D ini bentuknya mungil dan ringan pas untuk ukuran tangan perempuan.
Akhirnya saya juga lebih sering menggunakan Camera ini untuk membuat foto2 Interior, Arsitektur yang saya butuhkan untuk meng update portfolio web profesi saya.
Memang camera sekarang sudah sangat canggih, kita tidak usah repot2 kalkulasi dan nebak2 setingan, semua sudah otomatis dikerjakan oleh prosesor di camera, bahkan focusnya juga sudah otomatis, lensanya dilengkapi mekanis anti goyangan supaya gambar tidak burem kalau motret pake speed rendah, banyak pilihan seting untuk macem2 suasana pemotretan, bahkan sambil merem motretnya pun pasti jadinya bagus, dan yang penting bisa langsung tau hasilnya sat itu dan bias langsung dicetak, pokonya tinggal kreatifitas kita aja, selain itu semua proses kamar gelap sudah dikerjakan camera itu sendiri dan sedikit bantuan computer,atau bisa di katakan fly by wire.
Jadi sekarang tinggal pilih masih mau ribet2 pake kamera analog manual, apa pake kamera digital super canggih yang sudah pasti jadinya bagus ... bingung kan ... apakah akhirnya semua Camera analog saya tinggal sejarah gitu saja ... sedih juga sih liatnya.
Kalau lensa analog SLR nya sih sudah pasti tidak bisa dipakai di camera SLR digital walaupun sama2 Canon, tetapi untuk lensa analog dari M4 kalau dipakai ke body Leica M8 masih bisa tapi harga cameranya itu yang ga tega dengernya kalo cuma dipakai buat hobby2 an saja, bisa punya Leica M4 ini saja boleh dapet dari lungsuran kok...
Untung masih ada satu prabotan hobby yang aman diera digital yaitu sepeda gunung saya, sebetulnya sudaha ada versi digitalnya tapi biasanya dipakai untuk latihan simulasi indor, untuk sepeda yang berubah dari tahun ke tahun cuma component2 nya aja yang makin canggih.